Begawan Abiyasa

0

Abiyasa atau Byasa adalah salah satu tokoh yang muncul dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Bagawan Palasara dan Dewi Satyawati. Dia adalah kakek dari para Pandawa dan Korawa. Dia memiliki watak yang bijaksana,adil dan penuh rasa kasih sayang.

Dikisahkan, Resi Palasara  suatu berdiri di tepi sungai Yamuna minta disebeberangkan dengan perahu. Satyawati menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu.Dalam perjalanan mereka bercakap-cakap, Satyawati menceritakan bahwa dirinya terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayah Satyawati berpesan, bahwa siapa saja lelaki yang bisa menyembuhkan penyakitnya boleh dijadikan suami.

Resi Palasara yang memang terpikat oleh kecantikan Satyawati bersedia menyembuhkan penyakit Satyawati. Palasara dapat menyembuhkan penyakit Satyawati dalam sekejap.

Setelah lamaran disetujui oleh orangtua Satyawati, Parasara melangsungkan pernikahan. Mereka kemudian menikmati malam pertamanya di sebuah pulau di tengah sungai Yamuna. Disana Parasara menciptakan kabut gelap yang tebal agar pulau tersebut tidak terlihat oleh orang lain. Dari hubungan mereka, lahirlah seorang anak yang luar biasa, anak itu diberi nama Krishna Dwaipayana, karena kulitnya hitam (Krishna) dan lahir ditengah pulau (Dwaipayana). Krishna Dwaipayana tumbuh menjadi dewasa dengan cepat dan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang resi.

Ibunya, Satyawati meninggalkannya sejak kecil, ia kemudian menikah dengan raja kerajaan Hastinapura yaitu Prabu Santanu. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang putera yaitu Citranggada dan Wicitrawirya. Citranggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit. 

Kedua pangeran Kuru itu wafat tanpa memiliki keturunan yang nanti akan meneruskan takhta Hastinapura, karena putera Santanu, Bisma sudah bersumpah bahwa ia tidak akan menjadi pewaris takhta Hastinapura dan tidak akan pernah menikah sesuai janjinya dengan ayah Satyawati saat dulu dia melamar Satyawati untuk ayahnya.

Oleh karena itu, Satyawati memanggil Byasa agar melangsungkan suatu yajna (upacara suci) untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta menghadap Byasa sendirian untuk diupacarai.

Ambika mendapat giliran pertama untuk menghadap Byasa, ia takut melihat wajah Byasa, maka ia menutup matanya. Maka Byasa kemudian berkata bahwa anak Ambika akan terlahir buta. Kemudian Ambalika menghadap Byasa, namun sebelumnya Satyawati sudah mengingatkan Ambalika agar tidak menutup mata, agar anaknya tidak terlahir buta.

Ambalika memang tidak menutup matanya, namun ketika ia memandang wajah Byasa, ia menjadi takut dan wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan terlihat pucat. 

Anak Ambika yang terlahir buta adalah Dretarastra, ayah para Korawa, sedangkan anak yang dilahirkan Ambalika yang berwajah pucat adalah Pandu,  ayah para Pandawa. Karena kedua anak itu tidak sehat jasmani, maka Satyawati meminta agar Byasa melakukan upacara sekali lagi. Namun Ambika dan Ambalika tidak mau menghdap Byasa lagi, mereka menyuruh seorang dayang untuk mewakilinya. Dayang itu bersikap tenang selama upacara, dan anak yang dilahirkannya bernama Widura.

Byasa juga membantu Gendari dan Dretarastra yang saat itu sudah putus asa menunggu bayi yang dikandung Gendari tak kunjung lahir. Sementara Kunti sudah memberikan keturunan kepada Pandu. Dengan penuh rasa kesal dan cemburu, Gendari memukul-mukul kandungannya, maka lahirlah janin yang dikandungnya. Namun yang lahir bukanlah seorang bayi mungil yang lucu melainkan seonggok daging yang berwarna keabu-abuan. Byasa kemudian memotong daging tersebut menjadi seratus bagian, kemudian setiap bagian dimasukkan ke dalam kendi/guci dan ditanam di dalam tanah. Setahun kemudian, kendi itu diambil kembali dan muncullah bayi-bayi dari seratus kendi itu. Putera Dretarastra itu kemudian dikenal sebagai putera Dretarastra.

Byasa tidak terlibat dalam perang akbar di Kurukhsetra. Namun ia tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang, karena ia tinggal di sebuah hutan di wilayah Kurukhsetra, sangat dekat dengan lokasi perang Bharatayuddha.Setelah perang usai, Aswatama berlindung di asrama Abiyasa. Tak lama, Arjuna dan para Pandawa menyusul.  Di asrama Abiyasa, Arjuna dan Aswatama bertarung, keduanya mengeluarkan senjata sakti. Abiyasa kemudian melerai mereka, ia meminta agar mereka menarik senjatanya, Arjuna berhasil melakukannya, namun Aswatama tidak, maka ia diberi pilihan agar mengarahkan senjatanya ke obyek lain. Aswatama mengarahkan senjatanya ke kandungan Utara, istri Abimanyu, hingga bayi yang dikandungnya meninggal. Namun dengan bantuan Kresna, bayi itu bisa dihidupkan lagi, bayi itu adalah Parikesit yang menjadi penerus kerajaan Kuru. 

Menurut pewayangan, Abiyasa moksa setelah Parikesit, anak Abimanyu berumur 35 hari. Untuk mendapatkan berkah restu dari kakek buyutnya, pada saat upacara selapanan Parikesit dipangku oleh Abiyasa, yang sengaja datang ke Istana Astina dari Pertapaan Wukirahtawu di Sapta Arga. Beberapa saat setelah memangku buyutnya itu, Abiyasa merasa ajalnya sudah tiba, namun ia tidak mau berangkat ke sorga bilamana tidak disertai oleh jazadnya. Para dewa mengabulkan tuntutan itu, dan mengirim kereta cahaya guna menjemputnya. Moksanya Abiyasa disaksikan segenap keluarga Pandawa, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa.

Sementara itu menurut Adiwangsawatarana Parwa, yang merupakan bagian dari Mahabarata, Abiyasa moksa pada zaman pemerintahan Prabu Janamejaya, cucu Parikesit. Peristiwa moksanya juga terjadi di Istana Astina.

Kitab Mahabarata yang asli adalah mahakarya Begawan Abiyasa sebagai pujangga sastra. Buku, yang kemudian dianggap sebagai salah satu Buku Suci bagi penganut agama Hindu, itu terdiri atas 18 parwa, dan lebih dari 7.000 seloka. Dalam menuliskan karya besar ini, Abiyasa dibantu oleh Batara Ganesa, dewa yang berkepala gajah, dan dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan dan seni sastra.

Share.

About Author

Hadisukirno adalah produsen Kerajinan Kulit yang berdiri sejak tahun 1972. Saat ini kami sudah bekerjasama dengan 45 sub pengrajin yang melibatkan 650 karyawan. Gallery kami beralamat di Jl S Parman 35 Yogyakarta. Produk utama kami adalah wayang kulit dan souvenir. Kami menyediakan wayang kulit baik untuk kebutuhan pentas dalang, koleksi maupun souvenir. Kami selalu berusaha melakukan pengembangan dan inovasi untuk produk kami sesuai dengan selera konsumen namun tetap menjaga kelestarian budaya dan karya bangsa Indonesia. Dan atas anugerah Yang Maha Kuasa, pada tahun 1987 Hadisukirno mendapat penghargaan dari Menteri Tenaga Kerja Bapak Sudomo untuk Produktivitas Dalam Bidang Eksport Industri Kerajinan Kulit, dengan surat tertanggal 29 Agustus 1987 dengan NOMOR KEP - 1286/MEN/1987.

Leave A Reply