Begawan Drona

0

Begawan Drona pada waktu mudanya dikenal dengan nama Bambang Kumbayana. Ia putera Begawan Baratwaja dari Pertapaan Argajembangan, negara Atasangin. Ketika menjelang dewasa Bambang Kumbayana diusir ayahnya karena dianggap bertingkah kurang ajar, merendahkan martabat bidadari. Waktu itu Begawan Baratwaja menyuruh puteranya agar segera menikah. Tetapi Bambang Kumbayana menjawab, ia hanya mau menikah dengan seorang bidadari.

Istri Bambang Kumbayana ternyata memang benar-benar seorang bidadari, yakni Dewi Wilutama atau Dewi Totilawati. Karena suatu kesalahan, oleh para dewa, Dewi Wilutama dikutuk menjadi seekor kuda betina dan harus menjalani hiduo di dunia. Kutukan itu akan hilang, bila Wilutama telah melahirkan seorang anak di marcapada.

Suatu saat, Bambang Kumbayana yang kebetulan sedang berkelana, perjalanannya terhalang oleh sungai besar. Karena tidak tahu bagaimana caranya supaya bisa sampai ke seberang,tanpa pikir panjang, ia pun berkata, “ Seandainya saat ini ada yang menolong aku menyeberangi sungai ini, kalau ia lelaki maka kuangkat menjadi saudaraku dan kalau perempuan maka kujadikan ia istriku.”

Tiba-tiba datanglah seekor kuda sembrani, menjemputnya dan member isyarat agar Bambang Kumbayana naik ke punggungnya. Kumbayana diterbangkan kuda sembrani itu dan berhasil sampai ke seberang sungai.

Sesuai dengan janji yang diucapkannya, maka Kumbayana menikahi Kuda sembrani jelmaan Dewi Wilutama itu. Dari perkawinan itu, lahirlah seorang bayi lelaki yang diberi nama Aswatama.

Setelah melahirkan anknya, kuda sembrani kemudian berubah ujud seperti semula, menjadi bidadari cantik kembali. Karena masa kutukannya telah selesai, setelah menerangkan siapa sebenarnya dirinya. Dewi Wilutama minta diri pada Bambang Kumbayana untuk kembali ke kahyangan. Namun sebelum ia terbang kembali ke kahyangan, Dewi Wilutama memberikan sebilah anak panah pusaka bernama Cundamanik., dengan pesan agar kelak panah pusaka itu diberikan kepada anaknya setelah dewasa.Sejak kepergian Dewi Wilutama, Bambang Kumbayana merawat Aswatama seorang diri.

Namun dalam kitab Mahabharata, istri Bambang Kumbayana adalah Dewi Krepi, saudara kembar Resi Krepa, keduanya putera Prabu Purungaji dari Kerajaan Timpuru. Ibu mereka seorang bidadari bernama Dewi Janapadi.

Suatu ketika, Bambang Kumbayana teringat akan seorang sahabatnya yang bernama Bambang Sucitra yang dulu pernah berguru pada Begawan Baratwaja, ayahnya. Ia mendengar kabar bahwa kini Sucitra telah diangkat menjadi raja di Cempalaradya (Pancala), menggantikan kedudukan mertuanya. Karena itu Bambang Kumbayana kemudian pergi ke negeri itu untuk menumpai sahabatnya itu.

Ketika, Kumbayana sampai di istana Cempala, sang raja sedang menerima para menterinya. Tanpa mengindahkan sopan santun, Bambang Kumbayana langsung saja masuk ke balairung dan segera menegur sahabatnya itu: “ Hai Sucitra,bagaimana kabarmu?”

Patih kerajaan Cempala, Gandamana langsung bertindak melihat tamu yang tak dikenal dan tida k mengindahkan sopan santun istana dengan memanggil nama kecil sang raja. Tanpa banyak bicara, Bambang Kumbayana diseret ke luar istana dan sesampainya di halaman tamu itu dihajar habis-habisan.

Bambang Kumbayana berusaha melawan, tetapi ia kalah sakti. Patih Gandamana yang menganggap kelakuan tamunya itu sebagai hinaan terhadap martabat raja dan kerajaan Cempala bertindak tanpa ampun.Tangan Kumbayana dipatahkan, danakibat hajarannya, hidung Kumbayana menjadi bengkok. Setelah tamu tak diundang itu cacat tubuhnya, barulah Patih gandamana melepaskannya.Kini lenyaplah sudah ketampanan Bambang Kumbayana.

Peristiwa itu menyebabkan Kumbayana menjadi dendam kepada Sucitra yang kini bergelar Prabu Drupada tersebut. Sakit hatinya membekas karena Prabu Drupada pada peristiwa itu tidak sedikitpun berusaha mencegah penganiayaan yang terjadi terhadap dirinya. Ia pun bertekad suatu saat kelak akan membalas penghinaan bekas sahabatnya itu.

Suatu Ketika, para Kurawa dan Pandawa, yang saat tu masih kanak-kanak, bermain bola di tanah lapang. Tiba-tiba bola tersebut melayan dan jatuh ke dalam sumur.  Para Kurawa menuduh Yudhistira yang melepampar bola itu sehingga masuk ke sumur. Namun, Yudhistira membantahnya. Pandawa yakin bahwa kakak sulungnya itu tidak pernah berbohong dan tidak bersalah. Segera mereka membela Yudhistira. Pertengkaran pun terjadi, segera saat kedua kelompok putra bangsawan itu hampir berkelahi, datanglah Drona melerai mereka.

Setelah tahuh apa yang menjadi penyebab pertengkaran, Drona kemudian mengajari mereka cara mengambil bola dari dalam sumur. Brahmana itu mengambil segenggam rumput alang-alang dan membentuknya menjadi semacam anak panah. Satu persatu anak panaj yang terbuat dari batang rumput tersebut dilemparkan ke dalam sumur, tepat pada bolanya. Batang rumput berikutnya diarahkan ke rumput terdahulu, sehingga anak panah rumput itu menjadi semacam rantai, yang akhirnya dapat digunakan untuk menarik bola keluar dari sumur.

Kemahiran yang luar biasa itu menarik perhatian Arjuna. Oleh karena itu, ia langsung mengusulkan agar Drona bersedia menjadi guru mereka. Pedapat Arjuna disetujui oleh Duryudana, yang kemudian mereka langsung menawa Drona ke hadapan Resi Bisma, kakek mereka, agar berkenan mengangkat Drona menjadi guru besar di Kerajaan Astina.

Resi Bisma bersedia memenuhi permohonan cucu-cucunya namun dengan syarat, Drona hanya boleh mengajar para pangeran yaitu Kurawa dan Pandawa. Drona tidak diijinkan untuk membagi ilmunya kepada orang lain, selain keluarga kerajaan.

Drona menerima syarat tersebut. Sebagai guru, ia menunaikan tugasnya dengan baik. Murid-muridnya, yakni Pandawa dan Kurawa pun menaruh hormat padanya.

Dari semua muridnya, Drona paling sayang dengan Arjuna. Kepada Arjuna inilah, seluruh ilmunya diturunkan. Ia bahkan pernah berjanji, tidak aka nada murid lain yang diberi seluruh ilmunya sehingga menyamai kamahiran Arjuna,khususnya dalam ilmu memanah.

Namun, suatu ketika Arjuna mempertanyakan janji Drona, karena sang guru dianggaptidak menepati janjinya. Hal itu terjadi ketikan Arjuna menyaksikan Bambang Ekalaya atau PrabuPalgundai ternyata lebih mahir dalam melepaskan tujuh anak panah sekaligus, dan semuanya tepat mengenai sasaran.

Karena merasa tidak pernah mengkhianati janjinya, Drona meinta agar Arjuna mengantarkannya kepada orang yang memiliki kemampuan dalam ilmu memanah melebihi Arjuna tersebut.

Begawan Drona menjumpai Ekalaya. Ekalaya yang memang menganggap Drona sebagai gurunya, sangat senang didatangi Drona.Untuk membuktikan bahwa ia tidak menyalahi janjinya, mahaguru itu melakukan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang guru besar. Ia meminta agar Ekalaya menyerahkan ibu jari tangan kanannya, sebagai tanda bakti murid pada gurunya.

Ekalaya pun tidak menolak pemrintaan Begawan Drona yang sangat ia hormati. Ekalaya memotong ibu jari tangan kanannyadan menyerahkannya keada Begawan Drona.
Pada ibu jari tersebut, sebenarnya melekat sebuah cincin sakti bernama Mustika Ampal, yang sudah ada sejak lahir.

Setelah kehilangan ibu jari tangan kanannya, Ekalaya tidak bisa memenah lagi dan ia pun gugur sewaktu bertanding dengan Arjuna.

Selain Ekalaya, Begawan Drona juga pernah meolak basukarna atau Adipati Karna sebagai muridnya karena bukan dari golongan ksatria.

Dalam Baratayuda, Begawan Drona berada di pihak Korawa. Ia menjadi senopati perang pasukan Kurawa. Banyak lawan yang gugur di tangan Begawan Drona, diantaranya adalah Prabu Marswapati, raja Wirata;Prabu Drupada, Raja Cemapakaradya;Utara, putra raja Wirata; dan Brantalaras dan Wilugangga, anak Arjuna.

Begawan Drona gugur di tangan Drestadjumena, putera Prabu Drupada.  Kematian Drona juga berkat siasat dan akal Prabu Kresna. Prabu Kresna menyuruh Bima membunuh seekor gajah yang kebetulan bernama Aswatama, serupa dengan nama anak tunggal Drona.

Setelah gajah itu mati, seperti yang disiasatkan Kresna, Bima kemudian berteriak lantang bahwa Aswatama mati. Teriakan itu diteruskan secara beranting oleh prajurit Pandawa, sehingga dengan cepat berita itu sampai ke teleinga Begawan Drona.

Begawan Drona tidak yakin akan kebenaran berita itu. Karenanya, kepada setiap orang yang dijumpainya, ia bertanya apakah bernar Aswatama telah mati. Walaupun setiap orang membenarkan berita itu, Drona masih belumyakin. Oleh karena itu, ia mendatangi orang yang dikenalnya sangat jujur, tidak kan berbohong seumur hidupnya, Prabu Puntadewa. Puntadewa yang sebelumnya sudah dipesan oleh Kresna pun menjawab, “ Memang benar Aswatama telah mati…”

Mendengar jawaban itu, seketika Resi Drona tertegun, tidak bergerak, seolah hilang kesadarannya. Dalam keadaan seperti itulah , arwah Bambang Ekalaya menyusup ke tubuh Drestadjumena, yang kemudian langsung mengangkat pedangnya dan menebas leher Drona.

Share.

About Author

Hadisukirno adalah produsen Kerajinan Kulit yang berdiri sejak tahun 1972. Saat ini kami sudah bekerjasama dengan 45 sub pengrajin yang melibatkan 650 karyawan. Gallery kami beralamat di Jl S Parman 35 Yogyakarta. Produk utama kami adalah wayang kulit dan souvenir. Kami menyediakan wayang kulit baik untuk kebutuhan pentas dalang, koleksi maupun souvenir. Kami selalu berusaha melakukan pengembangan dan inovasi untuk produk kami sesuai dengan selera konsumen namun tetap menjaga kelestarian budaya dan karya bangsa Indonesia. Dan atas anugerah Yang Maha Kuasa, pada tahun 1987 Hadisukirno mendapat penghargaan dari Menteri Tenaga Kerja Bapak Sudomo untuk Produktivitas Dalam Bidang Eksport Industri Kerajinan Kulit, dengan surat tertanggal 29 Agustus 1987 dengan NOMOR KEP - 1286/MEN/1987.

Leave A Reply