Dalam kitab Dronaparwaatau kitab ketujuh Mahabharata pada bagian Ghattotkacabadhaparwa dikisahkan tentang kematian Gatotkaca. Dalam kitab itu, dikisahkan Gatotkaca gugur dalam pertempuran akbar di Kurukhsetra (Baratayuda) pada malam hari ke-14.
Gatotkaca yang memang masih keturunan raksasa memiliki kekuatan yang luar biasa terutama di malam hari. Saat itu pertempuran seharusnya dihentikan karena senja telah tiba. Namun ksatria Pringgodani itu menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka. Akhirnya pertempuran pun berlanjut, kekuatan Gatotkaca semakin malam, semakin bertambah, banyak prajurit Korawa yang mati ditangannya. Salah satu sekutu Korawa yang bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajar Alambusa dengan kejam Karena ia telah membunuh sepupunya Irawan (putera Arjuna) pada hari kedelapan. Ia membawa Alambusa terbang tinggi dan membantingnya ke tanah hingga tubuh Alambusa hancur berantakan.
Melihat keganasan putera Bima itu, Doryudana menjadi cemas dan memaksa Karna untuk menghentikan Gatotkaca dengan senjata pusaka Indrastra pemberian Dewa Indra yang bernama Vasavi Shakti atau Kontawijayadanu. Sebenarnya Karna menolak, karena senjata itu hanya bisa digunakan satu kali, dan ia ingin menggunakan senjata itu ketika ia berhadapan dengan Arjuna, namun Doryudana terus mendesak Karna. Karna terpaksa melemparkan pusakanya itu dan menembus dada Gatotkaca.
Gatotkaca sadar bahwa ajalnya sudah dekat, namun ia masih berpikir bagaimana caranya agar bisa membunuh prajurit Korawa dalam jumlah besar sekaligus. Maka Gatotkaca membesarkan ukuran tubuhnya sampai ukuran maksimal dan merobohkan tubuhnya ke ribuan prajurit Korawa. Banyak prajurit Korawa yang tewas karena tertimpa tubuh putera kesayang Dewi Arimbi itu.
Dengan kematian Gatotkaca, tentu pihak Pandawa merasa terpukul, tetapi tidak dengan Kresna. Ia justru gembira, karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya untuk membunuh Arjuna.
Kisah kematian Gatotkaca versi pewayangan Jawa sedikit berbeda dengan versi Mahabharata. Dalam pewayangan Jawa dikisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan Abimanyu, putera Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari puteri kerajaan Wirata. Abimanyu mengaku bahwa ia masih perjaka dan belum memiliki istri, padahal ia sudah menikah dengan Sitisundari puteri Kresna.
Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca, mendengar bahwa suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana (Adik bungsu Arimbi), menyusul dan mengajak Abimanyu pulang. Namun hal itu membuat Utari curiga dan cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah bahwa ia belum beristri, dan bila ia ternyata telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.
Kalabendana kembali pulang ke istana Gatotkaca dan melaporkan sikap Abimanyu. Tetapi Gatotkaca justru marah, karena Kalabendana dianggap lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Ia tanpa sengaja memukul kepala Kalabendana hingga ia tewas seketika.
Sumpah Abimanyu benar-benar terbukti saat perang Baratayuda meletus. Pada hari ke-13 Abimanyu tewas dikeroyok para Korawa. Pada hari ke-14, Arjuna membalas kematian puteranya dengan memenggal kepala Jayadrata.
Doryudana sangat sedih dengan kematian Jayadrata, adik iparnya. Ia kemudian memaksa Karna untuk menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Sebenarnya itu melanggar aturan perang, tetapi Karna terpaksa menjalankannya.
Mendengar Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Putera Bima itu sengaja dipilih, karena senjata Kotang Antrakusuma yang ia pakai bisa memancarkan cahaya terang benderang.
Pertempuran di malam hari itu berlangsung mengerikan, Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa Lembusa. Namun ia juga kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama dengan musuh-musuh mereka, yaitu Lembusura dan Lembusana.
Gatotkaca kemudian berhadapan dengan Karna. Ia menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang yang membuat Karna kebingungan. Dengan petunjuk Batara Surya, ayahnya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Karna lalu melepaskan senjata Kontawijaya kearah Gatotkaca.
Mengetahui hal itu, Gatotkaca menghindar dengan terbang setinggi-tingginya, namun arwah Kalabendana (pamannya), muncul dan menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca sudah ditetapkan malam itu. Gatotkaca tentu pasrah dengan keputusan dewata. Namun ia meminta, agar mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana menyetujui permintaan kemenakannya itu, kemudian ia menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu kemudian musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang tersimpan di dalam perut Gatotkaca.
Gatotkaca tewas, dan arwah Kalabendana melemparkan mayatnya kearah Karna. Karna berhasil menghindar, namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca. Akibatnya pecahan kereta tersebut, melesat ke segala arah dan menewaskan prajurit Korawa yang tak terhitung jumlahnya.